Pajak Restoran untuk Warung Tegal?

Warung masakan khas Tegal yang sering kita sebut warteg dengan omset diatas 60 juta setahun diwacanakan oleh Pemda DKI agar dikenakan pajak restoran sebesar 10%. Tujuannya sudah pasti adalah untuk meningkatkan pendapatan daerah.

Idenya sih bagus, tetapi ada banyak pertanyaan tentang wacana ini. Salah satunya adalah : Apakah sudah ada analisa mengenai hal ini?

Analisa paling sederhana adalah, jika diasumsikan yang terkena pajak adalah warteg yang ber"omset" 60 juta/tahun, berapa nilai bersih yang bisa didapat oleh penjual tersebut?

Saya sih  simpel saja : 60 juta pertahun berarti 5 juta perbulan. Keuntungan rata- rata di bisnis makanan macam warteg ini dikisaran 40-50% (berbeda dengan restoran atau hotel yang biasanya dipatok sekitar 50-65%). Jadi, jika pendapatan kotornya 5 juta, keuntungan yg bisa diraih adalah 2 juta - 2,5 juta/bulan. Ini belum termasuk sewa tempat yang tiap tahun pasti mengalami kenaikan. Pendapatan senilai 2 jutaan ini sekilas  memang lebih tinggi dari UMK DKI Jakarta sekalipun, tetapi perlu diingat bahwa biasanya tidak mungkin warteg ini dikelola sendirian. Biasanya warteg dikelola bersama antara suami-istri atau bersama saudara dekat dari kampung.

Jadi, apakah masih manusiawi menerapkan pajak restoran untuk warteg yang beromset 60 juta/tahun? Mungkin akan lebih baik jika pajak ini di kenakan untuk warteg yang omsetnya diatas 100 juta/tahun, karena dengan asumsi yang sama, penjual masih mampu mendapatkan hasil bersih di atas 2,5 juta rupiah/bulan.


Bagaimana dengan yang lain?
Beberapa pertanyaan juga muncul, bagaimana dengan warung masakan padang, angkringan, warung pecel lele dan warung tenda lainnya? Apakah nantinya juga akan dikenakan pajak restoran sebesar 10%? Karena jangan salah sangka, ada beberapa warung tenda jenis ini yang "omset"nya bisa saja berada di atas 5 juta/bulan. Apakah nantinya tidak menimbulkan kecemburuan?





Sumber Daya
Yang mungkin masih luput dari perhatian adalah masalah sumber daya. Entah sumber daya manusia ataupun sumber daya alatnya. Prosedur yang akan diterapkan juga sampai sekarang belum jelas karena masyarakat pelaku usaha ini awam dengan pajak dan cara hitungnya.

Jadi buat Pemda DKI Jakarta, sebaiknya wacana ini ditinjau kembali dan bahkan kalau mungkin ditiadakan saja. Karena selain membebani dan merepotkan penjual, tambahan pajak ini sudah pasti akan membebani konsumennya yang notabene adalah kalangan menengah kebawah yang berpenghasilan pas-pasan serta menaikkan...... INFLASI... (Yang tidak perlu di bahas karena bisa lebih panjang lagi cakupan bahasannya).

Selamat menikmati...

Comments